Kamis, September 13, 2012

Kapitalisme Cina


Kapitalisme Cina yang diceritakan Ong Hok Ham dalam bukunya bahwa tujuan awal kedatangan Cina di Indonesia untuk berdagang. Struktur ekonomi masyarakat orang cina terbentuk setelah Kedatangan Orang Belanda di Batavia pada tahun 1619. Kehidupan orang Cina pada waktu itu, berprofesi sebagai Tukang, Pedagang, Kuli, dan kotraktor. Dalam struktur sosial orang Cina tergolong kelas menengah dan proletar.

Cina menjadi perantara Orang Pribumi dengan VOC. Orang Cina bekerja sebagai pedagang perantara dan tukang pajak seperti pajak tanah, pajak pasar dan pajak gerbang.

Pada pada abad 17, VOC membangun Benteng dan Gudang disepanjang pesisir utara Jawa seperti Semarang, Cirebon dan sekitarnya. Saat hubungan Orang Cina dengan VOC semakin membaik, Orang Cina membawa porselen, Kapas, sutra dan kapas dari Cina dan mengirim rempah rempah ke Cina.

Onghokham menceritakan salah seorang pengusaha Cina bernama Oei Tjie Sien yang dianggap berhasil pada masa penjajahan Belanda. Dia tiba di Semarang pada tahun 1858. Dia seorang pedagang barang pecah belah, Lima tahun kedatangannya di Hindia Belanda, sudah mampu membentuk Kian Gwan dalam bentuk kongsi atau perusahaan yang terdaftar di Pemerintah. Dia berusaha dengan dagang hasil bumi jawa seperti beras, gambir dan wangi wangian. Dalam menjalankan usahanya, Dia membangun jaringan luar negeri di Asia Tenggara.

Semarang sudah mulai berkembang sebagai pusat perdagangan dibandingkan Batavia pada waktu itu. Komunitas Cina juga sudah membesar sehingga membuat kapitan sendiri. Pada tahun 1864 dibangunlah jalur kareta api pertama antara Semarang – Surakarta untuk mempermudah hubungan daerah semarang dengan Pedalaman.

Usaha Oei Tjie Sien semakin meningkat ketika Perusahaan diambil alih oleh anaknya Oie Tiong Ham pada tahun 1880. Oei Tiong Ham memulai usahanya sebagai pedagang Gula. Keberhasilannya menjual Gula sehingga membangun lima buah pabrik gula dan memodernisasi dengan memasang mesin baru.

Oei Tjie memperluas usaha dengan membeli izin penjualan candu di Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Surakarta. Selama sepuluh tahun, Oei mendapatkan keuntungan sebesar 18 juta Golden.

Kemudian memperluas lagi usahanya dengan berdagang kapuk, randu, karet, tepioka dan teh. Teknik dagang Oei selalu berhasil karena ditopang oleh lobi-lobi dengan orang terkenal dan sejahtera seperti penguasa kebun teh di Malang.

Pada tahun 1910, kenaikan harga gula akibat perang dunia pertama membuat usaha Oei semakin meningkat dengan membuka kantor cabang di London. Oei Tiong Ham mendapat julukan dari orang Inggeris sebagai Raja Gula dari Jawa. Oei Tiong Ham sangat terkenal sebagai konglomerat di Asia Tenggara.

Dari usaha Oei Tjie Sien membuat orang cina dikenal sebagai pebisnis ulung bahkan sampai sekarang, Dari 200 orang daftar orang kaya seluruh Indonesia, terdapat 50% orang Cina.
Dalam perkembangan kehidupan orang Cina di Indonesia tentu tidak semuanya Kaya. Hal demikian dapat dilihat di Pontianak sekarang. Cina berprofesi sebagai sebagai Petani, Tukang Kayu, Pedagang Kecil, Pelacur, Pengemis, dan sebagainya.

Judul buku        : Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina
Pengarang         : ONG HOK HAM
Halaman           : xii + 204
Ukuran              : 14 x 21 cm
Penerbit            : Komunitas Bambu, 2008

Sabtu, September 08, 2012

Cerita Ibu Sugiami


Seminggu yang lalu, suasana pantai panjang masih ramai pengunjung. Hari terakhir warga menimati hari liburan. Senin menyambut esok hari. Puluhan pedagang kaki lima meninggalkan lokasi sore itu. Yang tersisa mayoritas pedagang yang bertempat tinggal tidak jauh dari hotel bidadari, pantai panjang, Bengkulu.

Sabtu, September 01, 2012

Trauma Kebakaran


“Kebakaran, kebakaran, kebakaran” teriakan itu terdengar dari ruangan tempat kami berdiskusi sambil bermain game online. Puluhan kaki terdengar dari dalam kamar berlarian di belakang rumah. Listrik menjadi sasaran utama untuk dimatikan. Seorang kawan panik dengan lari naik turun tangga. Lainnya berlarian menyaksikan warga yang mondar-mandir meminta pertolongan. Lokasi kebakaran hanya sekitar 50 meter dari tempat kami berkumpul. 

Warga berlarian keluar rumah dengan gaya pakaian seadanya. Ada yang hanya memakai sarung, hanya memakai celana pendek, tetapi tidak ada satupun yang telanjang bulat . Sebagian warga membawa barang berharga mereka keluar dari rumah. televisi, kulkas, bungkusan pakaian, kendaraan di kumpulkan di ruang – ruang kosong dalam kampung. Kebanyakan kaum ibu-ibu beserta anaknya hanya bisa berteriak dan menangis menyaksikan bencana kebakaran yang melanda kampung mereka.

Tidak cukup 30 menit, ribuan kaum laki-laki baik anak muda maupun orang tua memenuhi gang-gang kampung. Lima sudut yang bisa dijangkau dijadikan tempat untuk berbaris dua untuk saling membantu, mengangkat air dari sumur. Kerjasama warga cukup solid sampai diatap rumah memadamkan api jahanam yang akan menghabiskan tempat tinggal mereka.

“Kerjasama antar warga untuk memadamkan api tercipta dengan baik karena trauma kebakaran yang berkali-kali menimpa tempat tinggal kami” kata salah saorang warga yang ikut ambil bagian dalam barisan untuk mengangkat air. Sekitar sejam setengah bekerja keras mengangkat air. Api berhasil dipadamkan warga. Bunyi sirine dari jalan utama terdengar, pemadam kebakaran mulai berdatangan.

Saya kembali termenung seandainya kondisi demikian yang menimpa tempat tinggalku, pasti akan kelabakan yang lebih parah. Bencana kebakaran pernah terjadi pada keluargaku, sewaktu diriku masih duduk di sekolah menengah pertama. orang tua perempuanku yang bekerja sebagai pedagang harus bangun setiap subuh untuk berangkat ke pasar menjajakan dagangannya. Pekerjaan ini dilakukan untuk membiayai sekolah anak-anaknya, pendapatan bapak hanya cukup membiayai makan dalam keluarga kami. Suatu hari tanpa sebab, Pasar Ibukota kecamatan tempat ibuku selalu mendapatkan pembeli yang paling banyak, habis terbakar.

Tiga bulan kemudian, pasar yang habis terbakar itu akan dibangun kembali. Penguasa lokal menganggap pasar tradisional itu sudah tidak layak lagi, sehingga harus diganti dengan pasar modern dengan mengandalkan modal dari investor. Awalnya para pedagang dijanjikan akan mendapatkan kembali tempat mereka berjualan setelah pasar itu dibangun. Bangunan pasar diubah seratus persen sesui dengan kemauan investor. Ruko dibuat bertingkat dan dapat dijadikan tempat tinggal, karena disertai dengan tempat tidur di lantai dua. Bagian tengah pasar dibangun kios permanen disertai dengan fasilitas mewah.

Bapak Bupati bersama kroninya membuat pesta-pesta dalam rangka meresmikan keberhasilannya membangun pasar tradisonal dengan memanfaatkan dana investor. Para pedagang diundang dan diberi harapan untuk berdagang dan mendapatkan untung dua tiga kali lipat kedepannya. Pedagang yang akan menempati kios dan ruko pasar diharapkan mendaftarkan diri di agen penyalur kios dan ruko yang dibentuk investor.

Awalnya uang muka hanya 3 juta rupiah. Seminggu kemudian dinaikkan 5 juta rupiah. Peminat pun tiada henti bahkan semakin besar. Sampai akhirnya, pihak investor atau pihak pengembang menaikkan biaya uang muka harus 20 juta rupiah. Cicilan bulanan minimal 2 juta rupiah. total harga kios kurang lebih 75 juta rupiah. Para pedagang kecil seperti ibuku kembali berpikir, karena tidak mempunyai uang sebesar itu. Sebagian besar pedagang menarik diri dan memilih untuk tidak berdagang di pasar modern tersebut.

Kondisi pasar semakin hari semakin sepi sampai sekarang. Harga kios dan ruko yang mahal mengharuskan pedagang untuk mencari cara baru dalam mengatasi kebutuhan akan dagang dengan keterbatasan tempat dan modal. Pasar tradisional yang kecil-kecil menjadi tempat alternatif untuk melanjutkan usaha agar anak-akanya dapat bersekolah. Pasar Tradisional-Modern ditinggalkan agar para pengembang jerah menanam modal di pasar tradisional-modern yang menyingkirkan pedagang tak bermodal besar.

Kembali ke kebakaran tempat tinggal seperti yang terjadi di kampung temanku diatas, menimbulkan berbagai pandangan, antara kesengajaan atau bencana. Pasalnya, kebanyakan kebakaran tempat tinggal warga rata-rata terjadi di tanah-tanah yang tidak mempunyai surat-surat atau berkasus dengan pengusaha properti dan sebagainya. Kalau kebakaran di perumahan elit, itu sih tidak jadi masalah, karena mereka punya uang yang cukup untuk mendirikan tempat tinggal yang baru. Tetapi terjadi di pemukiman padat yang kebanyakan penduduk golongan menengah kebawah dan akan menambah kemelaratan warga.

Entah disengaja atau tidak, yang jelas dinas penanggulangan bencana bersama penguasa lokal harus berpikir keras untuk mengatasi fenomena kebakaran yang marak terjadi akhir-akhir ini baik di Jakarta maupun berbagai wilayah di Indonesia lainnya. demi mengurangi korban dan kerugian kelas menengah kebawah. bukan malah sebaliknya, dari tahun ke tahun korban kebakaran semakin banyak dan dibiarkan begitu saja tanpa langkah-langkah yang kongkrit untuk mengantisipasi kebakaran di pemukiman dan tempat usaha warga biasa..

Minggu, Agustus 19, 2012

Lebaran

Suasana Kota mulai sepi, Sebagian warga pulang kampung,Jalanan tak lagi macet seperti kemarin. Jarak satu kilometer harus ditempuh dengan waktu sejam. Antrian di Lampu merah sampai 30 menit. Perempatan jalan harus berhenti menunggu antrian mobil dan motor dari gang-gang. Polisi lalu lintas tak lagi berdiri dengan kecamata hitamnya.

Mall tetap dipenuhi pengunjung seperti biasanya. Tujuan pengunjung berbeda beda. Pengunjung sekedar untuk makan bersama keluarga, berbelanja di super market, berbelanja pakaian dan sekedar jalan-jalan. Mall menjadi tempat idaman keluarga untuk memenuhi hasrat jalan-jalan di tengah kota, pasar tradisional tak ada lagi yang efektif untuk dikunjungi, tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah kota.  Ruang terbuka tak ada lagi yang nyaman, kebanyakan ditutupi bangunan pencakar langit. Hanya mall yang tersisa sebagai ruang yang tepat untuk bersantai ria bersama keluarga.

PNS, Buruh Pabrik, Karyawan swasta sedang sibuk menghamburkan uang tunjangan hari raya dalam menyambut hari raya idul fitri. Pakaian, Makanan dan sebagainya bukan lagi sebagai kebutuhan tetapi hasrat memenuhi keinginan hidup yang serba wah, mewah, ya mewah. Orang kelas tengah keatas membenarkan kemewahan sebagai sesuatu yang biasa dalam hidup. 

Anggapan lain bahwa kemewahan terutama pakaian baru berasal dari Zaman kerajaan Banten berkuasa pada abad 16, Penghuni kerajaan rajin memberikan pakaian baru kepada rakyat. Yang tidak mampu membeli, dengan cara menjahit pakaian sendiri untuk dipakai pada hari raya idul fitri. Pakaian baru kemungkinan dianggap sebagai pakaian suci. Dalam perkembangannya menjadi tren bagi kalangan mampu untuk menjadikan ajang gaya – gayaan bahkan berlebihan. Seolah-olah sebagai pelampiasan balas dendam setelah menderita selama sebulan menjalankan ibadah puasa.

Suara pesawat siling berganti diatas atap rumah. Antrian pelabuhan merak menacapai 10 kilometer. Ribuan motor melalui jalur kalimalang-bekasi menuju kampung masing-masing. Seorang perempuan menghisap rokok dengan santai dengan pak sopir angkot. Menurut si perempuan, pulang kampung hanya berlaku bagi orang yang punya uang. Mesjid dibangun mewah-mewah hanya diisi satu dua saf saat shalat. Ruang yang tersisa diusulkan untuk dijadikan tempat nginap anak jalanan. Menolong sesama manusia lebih penting daripada bangunan mewah itu.

Lebaran adalah kemenangan bagi orang – orang yang berpunya. Zakat yang katanya mau menolong kaum fakir miskin sebagian hanya dijadikan alat politisasi elit berkuasa. Pesta makanan dan minuman dengan pakaian mewah sebagai ajang unjuk kekuatan dengan sanak saudara di Kampung. Silaturahmi hanya pelengkap yang penting kemenangan dirayakan dengan pesta – pesta.